Sudah merupakan suatu
kewajiban bagi Syaiful untuk menahan, mengatasi dan menutup godaan yang akan
menjauhkannya dari beribadah kepada Allah SWT. Godaan yang dimaksud antara lain
Godaan Kekhawatiran Kepastian Rezeki.
Godaan Kekhawatiran Kepastian Rezeki dan tuntutan nafsu hanya dapat ditahan dan
ditutupi dengan jalan tawakal. Sudah selayaknya bagi Syaiful untuk hanya
mengantungkan diri kepada Allah. Yang demikian ini dilakukan demi tujuan-tujuan
tertentu. Tujuan tersebut antara lain supaya tenteram dalam mengerjakan ibadah
dan menjalankan kebaikan. Sebab orang yang tidak menggantungkan dirinya kepada
Allah SWT, niscaya ia tidak akan sempat beribadah karena selalu memikirkan
kebutuhan akan rezeki. Kebimbangan itu ada kalanya bersifat lahiriah dan ada
kalanya bersifat batiniah.
Menurut Syaiful M. Maghsri
mereka yang lemah hatinya, kemungkinan besar tidak dapat tenang, disini yang
bersangkutan masih belum memahami betul makna tawakal. Sesungguhnya keadaan
yang berjalan di dunia ini hanyalah dua keadaan, yaitu tawakal dan sembrono.
Mereka yang sembrono jika bermaksud mengerjakan sesuatu, hanya berpikir asal ada kekuatan dan keberanian saja, tanpa
mempertimbangkan akibatnya.
Bagi Syaiful M. Maghsri yang
hatinya hanya bergantung kepada Allah SWT, tidak akan bimbang, oleh
kekhawatiran baik dari diri sendiri maupun dari orang lain yang
menakut-nakutinya, termasuk godaan maupun gangguan dari setan. Adapun orang
yang lemah agamanya, ia selalu maju mundur, lelah dan bingung tidak karuan,
bagaikan domba yang berada di kandang dan selalu hanya menanti-nantikan
pembagian yang diberikan oleh yang memeliharanya. Jiwanya beku tidak dapat lagi
memikirkan hal-hal yang tinggi, semangatnya mudah patah, tidak dapat
merencanakan hal-hal yang mulia. Apabila sempat memikirkan dan mencoba tindakan
yang mulia biasanya ia tidak dapat sampai pada tujuannya atau dilakukan dengan
tidak sempurna.
Menurut Syaiful, orang yang
hanya menggantungkan dirinya hanya pada dunia, mereka tidak bisa sampai pada
pangkat yang tinggi dan kedudukan yang terhormat. Apa yang terjadi adalah bahwa
mereka selalu melupakan harga dirinya, mengorbankan harta benda dan
keluarganya. Pikirannya penuh keraguan dan kebimbangan. Adapun orang-orang yang
tawakal yaitu yang menggantungkan atau memasrahkan dirinya hanya kepada Allah
SWT. Mereka memiliki satu modal pokok dalam menjalankan hidup yakni,
mengabdikan diri kepada Allah. Syaiful tidak terpengaruh oleh keadaan-keadaan
yang menggangu pikirannya, ia berlapang dada jauh dari pikiran-pikiran kusut
yang merepotkan dirinya. Ia selalu memiliki kesempatan untuk melakukan ibadah kepada
Allah yang memberi segala-galanya.
Menurut Syaiful, orang yang
bertawakal adalah kaum yang sangat bebas, seakan-akan menjadi raja sejagat,
kemana saja bergerak ia merasa bebas terlepas dari aneka godaan dan halangan,
karena semua ruang dan waktu yang mereka singgahi sama sekali tidak mengganggu
sikap tawakalnya kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam sabda
Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang
ingin menjadi orang yang terkuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah”.
Hadist ini memberikan pengertian kepada kita bahwa arti tawakal itu bukan
sekali-kali kita harus berpangku dagu, duduk bersimpuh menunggu datangnya
rezeki tanpa berusaha. Akan tetapi arti tawakal itu ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh dan menyandarkan harapan hanya kepada Allah belaka, yang
kekuasaan-Nya penuh dan Maha Bijaksana serta Maha Pengatur, disertai keyakinan
bahwa pertolongan Allah juga yang dapat tujuan dari usaha mereka tercapai.
Menurut Syaiful mereka yang tidak bertawakal, usahanya sangat
melelahkan lahir dan batinnya dan sering gagal tidak sampai tujuan, karena
andalannya hanya kepada dirinya sendiri atau kepada harta dan kepada makhluk,
yang kekuasaanya terbatas dan penuh kekurangan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Barang siapa yang merindukan dirinya agar menjadi orang yang
termulia, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah.” Karena orang yang bertaqwa
kepada Allah akan diberikan kemuliaan kepada-nya, jika Allah yang memberi
kemuliaan itu, tiada seorangpun yang dapat menghilangkan-Nya. Selanjutnya Nabi
bersabda, “Barang siapa yang lain ingin menjadi orang yang terkaya, hendaklah
ia lebih percaya kepada Kekuasaan Allah daripada dirinya sendiri.”
Hal lain yang mendorong
Syaiful harus bertawakal kepada Allah dalam urusan rezeki ialah karena telah
difirmankan oleh Allah SWT, “Allah jualah yang menjadikan kamu dan memberi
rezeki kepada kamu,” (QS. Ar-Rum 30 :40). Jadi ketawakalan itu adalah meyakini
Allah mnyertakan kepada setiap makhluk yang lahir sekaligus dengan rezekinya,
dan karena itu alangkah bahayanya kalau kita tidak bertawakal kepada Allah.
Selain itu Allah menjanjikan, “Sesungguhnya Allah, hanya Dia saja yang memberi
rezezki,” (QS. Hud 11: 6). Maka barang siapa yang tidak menghiraukan firman
Allah bahwa itu pemberian Allah semata-mata dan tidak menganggap hal itu janji
Allah, dan tidak tenteram dengan jaminan Allah serta tidak merasa senang dengan
penetapan Allah, lalu tidak mempedulikan perintah dan ganjaran serta
ancaman-Nya, maka lihatlah apa yang akan terjadi pada dirinya akibat dari
kelakuanya itu, adalah suatu musibah yang besar kalau orang tidak percaya
jaminan Allah. Kita tidak ingat akan musibah ini, sebagaimana sabda Rusulullah
kepada Abdullah Bin Umar, “bagaimana kalau engkau panjang umur dan hidup
dianatara orang-orang yang sudah menimbun rezeki untuk satu tahun karena lemah
keyakinannya,”.
Menurut ulama makrifat bahwa
rezeki terdiri dari empat bagian, yaitu rezeki yang di jamin, rezeki yang
dibagi, rezeki yang dimiliki dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah SWT. Kepada
orang yang bertaqwa tidak akan berubah keputusan dan juga kepada seorang yang jahat tidak akan merubah keputusan, yang
sudah diputuskan akan tetap tidak berubah. Termasuk didalamnya rezeki yang
dimiliki, yaitu apa yang dimiliki dari harta benda dunia, juga menurut apa yang
sudah ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah. Meskipun menurut perasaan
seseorang semua itu hasil dari jerih payah. Firman Allah, “Keluarkan Infaq (nafaqah, Zakat dan sebagainya) dari apa yang telah
kami berikan kepadamu,”. Demikian pula dengan rezeki yang dijanjikan oleh
Allah kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Datangnya itu halal dan tanpa susah
payah, Allah berfirman, “Barang siapa bertaqwa
kepada Allah pasti Allah membuat baginya suatu jalan keluar dari kesusahan dan
memberinya rezeki melalui jalan yang tidak disangka-sangka,”(QS. Ath-Thalaq 65
: 2).
Adapun batas dan hakikat
tawakal, percaya terhadap Allah dan mencukupkan segala sesuatu hanya dari-Nya,
serta tidak menggantungkan harapan
selain dari Allah. Inilah maksudnya tawakal kepada Allah, memelihara hati hanya
ditunjukkan kepada Allah semata dengan tidak menggantungkan hati kepada apapun
selain dari Allah SWT.
Bahaya yang akan menimpa
seseorang jika tidak bertawakal kepada
Allah adalah akan banyak keraguan tentang kepastian apakah sesuatu yang
diinginkan dan diusahakan bakal tercapai atau tidak. Kemudian hilangnya
keyakinan bahwa apa yang diusahakan terdapat sebuah kemaslahatan bagi dirinya.
Sesungguhnya Allah tidak akan menyuruh seseorang berbuat sesuatu, kecuali ada
kebaikan bagi dirinya. Demikian pula Allah tidak akan membuat sempit seseorang
yang mengerjakan sesuatu kewajiban. Akan tetapi sewaktu-waktu Allah membuat
sesuatu uzur (alasan) untuk meninggalkannya, sehingga meninggalkan salah satu
dari kewajiban adalah lebih baik sebab ada kewajiban baru yang lebih penting.
Hal inilah yang mendorong
Syaiful M. Maghsri untuk menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Karena itu
bila ia menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, maka pasti akan diberikan
yang baik saja, dengan demikian menjadi kuat keinginan selalu dekat kepada
Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan TANGGAPAN Anda Tentang INFO ini untuk Memberikan INSPIRASI dan MOTIVASI Pembaca Lain. Tinggalkan KOMENTAR Anda DISINI